BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh umat islam,
telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu
sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur`an.
Keharusan mengikuti hadis bagi umat islam baik yang berupa perintah maupun
larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hai ini karena,
hadis merupakan mubayyin bagi Al-qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak
bisa memahami Al-qur`an tampa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula
halnya menggunakan hadis tanpa Al-qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar
hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian,
antara hadis dengan Al-qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan
mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.
Hadits bukanlah teks
suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi
penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan
ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka banyak terjadi silang
pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. sehingga hal tersebut memuncul kan
sebagian kelompok meragukan dan mengingkari
akan kebenaran hadits sebagai sumber hukum.
Dalam hukum Islam
diterapkan hukuman dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai pencegahan
kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa
berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya
Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi
terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan
ketentuan-ketentuan Ilahi.
Sebenarnya kalau hukum
yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa
direkayasa sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islamlah
yang sangat cocok bagi kehidupan manusia di dunia.
Dalam makalah ini
diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan
perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Hudud
“Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahui berbagi macam hukuman yang diakibatkan
atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan
kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan dan makalah ini membahas juga mengenai
sanad hadist, periwayat hadist, matang
hadist, pendapat ulama tentang hadist, dan pertentangan hadist.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dari latar belakang tersebut sebagai berikut:
1. Siapa-siapa saja yang beriwayat dalam
hadist hudud?
2. Kepada siapa hadist hudud tersebut
ditunjukan?
3. Bagaimana pendapat ulama mengenai hadist
tentang hudud?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui siapa-siapa saja yang
beriwayat dalam hadist hudud
2. Untuk mengetahui kepada siapa hadist
mengenai hudud ditunjukan
3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama
mengenai hadist tentang hudu
BAB
II
HADIST
A. Hukuman badan bagi pezina
وَ
عَنْ عُـبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خُـزُوْا عَنِّي خُـزُوْا عَـنِّي فَـقَـدْ جَعَـلَ
اللهِ لَـهُـنَّ سَـبِـيْلاً الْـبِـكْرُ بِالْـبِـكْرِ خَـلْدُ مِا ئَةٍ وَنَفْيُ
سَنَةٍ وَالشَّـيِّبُ بِالشَّـيِّـبِ خَلْدُ مِا ئَـةٍ وَالرَّ جْمُ. "(
رَوَاهُ مُسْلِمٌ )
Artinya
:
Dari ubadah bin as-shamit r.a. mengatakan,
Rasulullah saw. Bersabda,
” ambillah (hukum) dariku, ambillah
(hukum) dariku. Allah telah membuat keputusan untuk mereka, yakni jejakan yang
bersina dengan gadis maka sanksi hukumannya ialah didera seratus kali dan di
asingkan selam satu tahun. Lelaki dan wanita yang sudah menikah, maka sanksi
hukumannya adalah didera seratus kali
dan di hukum rajam”. (HR muslim)
B. Merajam pezina muhshan
وَ عَـنْ
عُـمَرَ ابْـنِ الْـخَـطَّـابِ رَضِـيَ اللهُ تَـعَـالَى عَـنْـهُ أَ نَّـهُ خَطَبَ
فَـقَـالَ : إِنَّ اللهَ بَـعَثَ مُـحَـمَّـدًا بِـالْـحَـقِّ وَ أَ نْـزَ لَ عَـلَـيْهِ
الْــكِـتَـابَ فَــكَـانَ فِـيْـمَـا أَ نْـزَ لَ اللهُ عَـلَـيْـهِ آيَـةُ الرَّ
جْـمِ قَرَ أْ نَـاهَـا وَوَ عَــيْـنَا هَـا وَ عَـقَـلْـنَا هَـا فَـرَ جَـمَ رَ
سُـوْ لُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَـلَـيْـهِ
وَ سَـلَّـمَ وَ رَ جَمْـنَـا بَـعْدَهُ فَـأَ خْـشَـى إِنْ طَـالَ بِـالـنَّاسِ
زَ مَـانٌ أَنْ يَـقُـوْلَ قَـا ئِـلٌ : مَـا نَـجِـدُ الرَّ جْـمَ فِي كِـتَـابِ اللهِ
فَـيُضِـلُّـوْا بِـتَرْ كِ فَـرِ يْـضَـهٍ أَنْـزَ لَـهَـا اللهُ وَ إِنَّ الرَّ جْـمَ
حَقٌ فِي كِـتَـا اللهِ تَـعَـالَى عَـلَى مَـنْ زَنَى إِ ذَا أَحْـصَـنَ مِـنَ الرِّ
جَـالِ وَالـنِّسَـاءِ إِذَا قَـامَـتِ الْبَـيِّـنَـةُ أَوْ كَـانَ الْـحَبَـلُ أَوِ
اْلِاعْـتِرَا فُ "(مُتَـفَـقق عَـلَـيْهِ).
Artinya:
Dari umar ibnul-khaththab r.a.
sesungguhnya ia berkhutbah ,
“ sesungguhnya allah telah mengutus
muhammad dengan membawa kebenaran, dan menurunkan al-Qur’an kepada beliau. Di
antara yang allah turunkan kepada beliau ialah ayat tentang hukuman rajam .
kita sudah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah saw. Telah
melaksanakan hukuman rajam, dan sepeninggalan beliau kita pun melaksanakannya.
Aku khawatir jika zaman telah berlalu cukup panjang ada orang berkata ,’ aku
tdak menemukan hukum rajam dalam kitab allah’, sehinggah manusia akan sesat
karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah di turunkan oleh allah. Dan
sesungguhnya hukuman rajam itu benar-benar termaktub dalam kitab allah, yang di
jatuhkan kepada orang yang berzina jika ia telah menikah, baik laki-laki maupun
perempuan, terdapat bukti, atau hamil,atau dengan pengakuan.” ( muttafaq alaih
)[1]
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk
jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu
dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Adapun
menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan
tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam
syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak
manusia. Adapun macam-macam hudud yaitu zina, Al-Qadzaf
(menuduh zina orang lain), Minum khamr, Pencurian, Murtad.
B. Pendapat Ulama
Ada ulama yang memandang musykil, bahwa
nabi ada memutuskan kasus perzinaan yang dilakukan oleh seseorang. Padahal Nabi
saw. Sendiri menyuruh kita untuk menutup aib orang lain. Dengan demikian, para
ulama berpendapat bahwa nabi mengutus orang untuk menemui seseorang perempuan,
bukan untuk memeriksanya apakah dia berzina atau tidak namun untuk membuktikan
apakah tuduhan terhadap perempuan itu benar atau tidak (tidak sekedar fitnah).
Al-Hafizh berkata: menurut lahir hadist,
unaiz memberitahukan kepada nabi tentang pengakuan si perempuan bahwa memang
benar dia berzina, walaupun nabi telah memberikan wewenang kepada Unaiz unutk
melaksanakan hukuman, jika perempuan itu mengaku. Dapat dipahamkan bahwa Unaiz,
menyampaikan pengakuan perempuan itu kepada nabi dengan membawa seorang saksi
yang turut mendengar pengakuan tersebut.
Asy-syafi’y dalam salah satu pendapat
dan Abu Tsaur memperbolehkan hakim memutuskan perkara hudud dengan pengakuan si
pezina, tanpa ada saksi yang mendengar pengakuan itu. Namun jumhur ulama tidak
memperbolehkannya.
Muhammad ibn Nashar mengatakan, bahwa
seluruh ulama sependapat untuk mengusir perempuan perawan selama satu tahun ini
dari kampungnya. Hanya ulama kufah saja yang tidak berpendapat demikian.
Diterangkan oleh Ibnu Mundzir, bahwa
Umar mengumumkan hukum raja mini di atas mimbar dan hal ini dilaksanakan oleh
seluruh Khulafa Rasyidin, Zaid Ibn ‘Ali, Ash Shadiq, Ibnu Abi Laila,
Ats-Tsaury, Malik, Asy-Syafi’y, Ahmad dan Ishaq.
Abu Hanifah, dan Hammad Berpendapat,
bahwa pengusiran selama satu tahun lamanya dan memenjarakannya, tidak wajib.
Karena ketentuan ini tidak tercantum dalam Al-Qur’an.
Hadist-hadist yang mewajibkan mengusir
(mengucilkan) si pezina perawan selama satu tahun dari kampungnya, adalah
hadist-hadist masyhur. Karenanya kita heran melihat sikap ulama Hanafiyah yang
tidak berpegang kepada hadist-hadist itu.
Lahir hadist yang menyuruh kita
mengucilkan si pezina selama satu tahun, mengcakup laki-laki dan perempuan.
Demikianlah pendapat Asy-Syafi’y.
Menurut malik dan Al-Auza’y, hukuman ini
tidak dikenakan terhadap perempuan. Lahir hadist ini, tidak membedakan antara
orang merdeka dengan budak.
Demikianlah pendapat Ats-Tsaury, Daud,
Ath-Thabary dan Asy-Syafi’y. Menurut sebagian ulama, hukuman terhadap budak
harus lebih ringan separuhnya, dikiaskan kepada hukuman cabuk.
Malik, Ahmad, Ishaq, Asy-Syafi’y dan
Al-Hasan, tidak mengenakan hukuman pengusiran terhadap budak. Menurut malik,
asy-syafi’y dan yang lain, taghrib yang tercantum dalam hadist, adalah
mengeluarkan si pezina dari kampongnya ketempat lain yang paling dekat
(semasafah qashar) namun menurut Zaid ibn ‘Ali, Ash Shadiq dan An-Nashir, arti
tagrib adalah memenjarakannya selama satu tahun.
Umar pernah mengucilkan seorang pezina
dari madina ke syam. Utsman pernah mentagribka
pezina ke mesir, Ibnu Unmar pernah mengucilkan budaknya ke fadak.
Menurut hadist jabir, hukuman cambuk
digabungkan dengan hukuman rajam. Mengenai rajam, seluruh ulama sepakat,
kecuali ulama khawarij dan sebagian ulama Mu’tazilah, seperti An-Nadham yang
menolak hukuman raja mini, karena tidak tercantum dalam al-Qur’an
Ahmad, Ishaq, Daud dan Ibnu Mundzir,
berpendapat bahwa terhadap pezina muhsan mewajibkan cambuk dan rajam.
Malik, Hanfiyah, Syafi’iyah dan jumhur
ulama tidak mencambuk pezina muhsan dicambuk dan dirajam. Tidak disebutnya ada
pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidiah, Tidak disebutnya ada pencambukan
dalam kasus Maiz dan Ghamidah, tidak cukup kuat untuk melawan hadist-hadist
yang menyebutnya
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hudud adalah bentuk jama’
dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat
mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman. Adapun
menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan
tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam
syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak
manusia.
Muhammad
ibn Nashar mengatakan, bahwa seluruh ulama sependapat untuk mengusir perempuan
perawan selama satu tahun ini dari kampungnya. Hanya ulama kufah saja yang
tidak berpendapat demikian.
Diterangkan
oleh Ibnu Mundzir, bahwa Umar mengumumkan hukum raja mini di atas mimbar dan
hal ini dilaksanakan oleh seluruh Khulafa Rasyidin, Zaid Ibn ‘Ali, Ash Shadiq,
Ibnu Abi Laila, Ats-Tsaury, Malik, Asy-Syafi’y, Ahmad dan Ishaq.
Abu
Hanifah, dan Hammad Berpendapat, bahwa pengusiran selama satu tahun lamanya dan
memenjarakannya, tidak wajib. Karena ketentuan ini tidak tercantum dalam
Al-Qur’an.
Hadist-hadist yang
mewajibkan mengusir (mengucilkan) si pezina perawan selama satu tahun dari
kampungnya, adalah hadist-hadist masyhur. Karenanya kita heran melihat sikap ulama
Hanafiyah yang tidak berpegang kepada hadist-hadist itu.
Menurut hadist jabir,
hukuman cambuk digabungkan dengan hukuman rajam. Mengenai rajam, seluruh ulama
sepakat, kecuali ulama khawarij dan sebagian ulama Mu’tazilah, seperti
An-Nadham yang menolak hukuman raja mini, karena tidak tercantum dalam
al-Qur’an
Ahmad, Ishaq, Daud dan
Ibnu Mundzir, berpendapat bahwa terhadap pezina muhsan mewajibkan cambuk dan
rajam.
Malik, Hanfiyah,
Syafi’iyah dan jumhur ulama tidak mencambuk pezina muhsan dicambuk dan dirajam.
Tidak disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidiah, Tidak
disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidah, tidak cukup kuat
untuk melawan hadist-hadist yang menyebutnya
B. Saran
Makalah ini saya akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Daftar
Pustaka
Al-Asqalami,
Al-Havizh Ibnu Hajar. GulGul Maraf. Jakarta: Akbar Media.
Muhammad,
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy. koleksi hadist-hadist hukum jilid 4.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadis.
Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1996
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i,
Terjemahan. Jakarta: Almahira, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar