Minggu, 12 Juni 2016

HUDUD

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu  sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hai ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-qur`an tampa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu menjadi rujukan  kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. sehingga hal tersebut memuncul kan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari  akan kebenaran hadits sebagai sumber hukum.
Dalam hukum Islam diterapkan hukuman dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai pencegahan kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islamlah yang sangat cocok bagi kehidupan manusia di dunia.

Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Hudud “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahui berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan dan makalah ini membahas juga mengenai sanad hadist, periwayat hadist,  matang hadist, pendapat ulama tentang hadist, dan pertentangan hadist. 

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang tersebut sebagai berikut:
1.      Siapa-siapa saja yang beriwayat dalam hadist hudud?
2.      Kepada siapa hadist hudud tersebut ditunjukan?
3.      Bagaimana pendapat ulama mengenai hadist tentang hudud? 

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui siapa-siapa saja yang beriwayat dalam hadist hudud
2.      Untuk mengetahui kepada siapa hadist mengenai hudud ditunjukan
3.      Untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama mengenai hadist tentang hudu



BAB II
HADIST
A.    Hukuman badan bagi pezina
وَ عَنْ عُـبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " خُـزُوْا عَنِّي خُـزُوْا عَـنِّي فَـقَـدْ جَعَـلَ اللهِ لَـهُـنَّ سَـبِـيْلاً الْـبِـكْرُ بِالْـبِـكْرِ خَـلْدُ مِا ئَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالشَّـيِّبُ بِالشَّـيِّـبِ خَلْدُ مِا ئَـةٍ وَالرَّ جْمُ. "( رَوَاهُ مُسْلِمٌ )
Artinya   :
 Dari ubadah bin as-shamit r.a. mengatakan, Rasulullah saw. Bersabda,
” ambillah (hukum) dariku, ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat keputusan untuk mereka, yakni jejakan yang bersina dengan gadis maka sanksi hukumannya ialah didera seratus kali dan di asingkan selam satu tahun. Lelaki dan wanita yang sudah menikah, maka sanksi hukumannya adalah  didera seratus kali dan di hukum rajam”. (HR muslim)

B.     Merajam pezina muhshan
وَ عَـنْ عُـمَرَ ابْـنِ الْـخَـطَّـابِ رَضِـيَ اللهُ تَـعَـالَى عَـنْـهُ أَ نَّـهُ خَطَبَ فَـقَـالَ : إِنَّ اللهَ بَـعَثَ مُـحَـمَّـدًا بِـالْـحَـقِّ وَ أَ نْـزَ لَ عَـلَـيْهِ الْــكِـتَـابَ فَــكَـانَ فِـيْـمَـا أَ نْـزَ لَ اللهُ عَـلَـيْـهِ آيَـةُ الرَّ جْـمِ قَرَ أْ نَـاهَـا وَوَ عَــيْـنَا هَـا وَ عَـقَـلْـنَا هَـا فَـرَ جَـمَ رَ سُـوْ لُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَـلَـيْـهِ  وَ سَـلَّـمَ وَ رَ جَمْـنَـا بَـعْدَهُ فَـأَ خْـشَـى إِنْ طَـالَ بِـالـنَّاسِ زَ مَـانٌ أَنْ يَـقُـوْلَ قَـا ئِـلٌ : مَـا نَـجِـدُ الرَّ جْـمَ فِي كِـتَـابِ اللهِ فَـيُضِـلُّـوْا بِـتَرْ كِ فَـرِ يْـضَـهٍ أَنْـزَ لَـهَـا اللهُ وَ إِنَّ الرَّ جْـمَ حَقٌ فِي كِـتَـا اللهِ تَـعَـالَى عَـلَى مَـنْ زَنَى إِ ذَا أَحْـصَـنَ مِـنَ الرِّ جَـالِ وَالـنِّسَـاءِ إِذَا قَـامَـتِ الْبَـيِّـنَـةُ أَوْ كَـانَ الْـحَبَـلُ أَوِ اْلِاعْـتِرَا فُ "(مُتَـفَـقق عَـلَـيْهِ).
Artinya:
Dari umar ibnul-khaththab r.a. sesungguhnya ia berkhutbah , 
“ sesungguhnya allah telah mengutus muhammad dengan membawa kebenaran, dan menurunkan al-Qur’an kepada beliau. Di antara yang allah turunkan kepada beliau ialah ayat tentang hukuman rajam . kita sudah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah saw. Telah melaksanakan hukuman rajam, dan sepeninggalan beliau kita pun melaksanakannya. Aku khawatir jika zaman telah berlalu cukup panjang ada orang berkata ,’ aku tdak menemukan hukum rajam dalam kitab allah’, sehinggah manusia akan sesat karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah di turunkan oleh allah. Dan sesungguhnya hukuman rajam itu benar-benar termaktub dalam kitab allah, yang di jatuhkan kepada orang yang berzina jika ia telah menikah, baik laki-laki maupun perempuan, terdapat bukti, atau hamil,atau dengan pengakuan.” ( muttafaq alaih )[1]








BAB III
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Adapun menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia. Adapun macam-macam hudud yaitu zina, Al-Qadzaf (menuduh zina orang lain), Minum khamr, Pencurian, Murtad.

B.     Pendapat Ulama
Ada ulama yang memandang musykil, bahwa nabi ada memutuskan kasus perzinaan yang dilakukan oleh seseorang. Padahal Nabi saw. Sendiri menyuruh kita untuk menutup aib orang lain. Dengan demikian, para ulama berpendapat bahwa nabi mengutus orang untuk menemui seseorang perempuan, bukan untuk memeriksanya apakah dia berzina atau tidak namun untuk membuktikan apakah tuduhan terhadap perempuan itu benar atau tidak (tidak sekedar fitnah).
Al-Hafizh berkata: menurut lahir hadist, unaiz memberitahukan kepada nabi tentang pengakuan si perempuan bahwa memang benar dia berzina, walaupun nabi telah memberikan wewenang kepada Unaiz unutk melaksanakan hukuman, jika perempuan itu mengaku. Dapat dipahamkan bahwa Unaiz, menyampaikan pengakuan perempuan itu kepada nabi dengan membawa seorang saksi yang turut mendengar pengakuan tersebut.  
Asy-syafi’y dalam salah satu pendapat dan Abu Tsaur memperbolehkan hakim memutuskan perkara hudud dengan pengakuan si pezina, tanpa ada saksi yang mendengar pengakuan itu. Namun jumhur ulama tidak memperbolehkannya.
Muhammad ibn Nashar mengatakan, bahwa seluruh ulama sependapat untuk mengusir perempuan perawan selama satu tahun ini dari kampungnya. Hanya ulama kufah saja yang tidak berpendapat demikian.
Diterangkan oleh Ibnu Mundzir, bahwa Umar mengumumkan hukum raja mini di atas mimbar dan hal ini dilaksanakan oleh seluruh Khulafa Rasyidin, Zaid Ibn ‘Ali, Ash Shadiq, Ibnu Abi Laila, Ats-Tsaury, Malik, Asy-Syafi’y, Ahmad dan Ishaq.
Abu Hanifah, dan Hammad Berpendapat, bahwa pengusiran selama satu tahun lamanya dan memenjarakannya, tidak wajib. Karena ketentuan ini tidak tercantum dalam Al-Qur’an.
Hadist-hadist yang mewajibkan mengusir (mengucilkan) si pezina perawan selama satu tahun dari kampungnya, adalah hadist-hadist masyhur. Karenanya kita heran melihat sikap ulama Hanafiyah yang tidak berpegang kepada hadist-hadist itu.
Lahir hadist yang menyuruh kita mengucilkan si pezina selama satu tahun, mengcakup laki-laki dan perempuan. Demikianlah pendapat Asy-Syafi’y.
Menurut malik dan Al-Auza’y, hukuman ini tidak dikenakan terhadap perempuan. Lahir hadist ini, tidak membedakan antara orang merdeka dengan budak.
Demikianlah pendapat Ats-Tsaury, Daud, Ath-Thabary dan Asy-Syafi’y. Menurut sebagian ulama, hukuman terhadap budak harus lebih ringan separuhnya, dikiaskan kepada hukuman cabuk.
Malik, Ahmad, Ishaq, Asy-Syafi’y dan Al-Hasan, tidak mengenakan hukuman pengusiran terhadap budak. Menurut malik, asy-syafi’y dan yang lain, taghrib yang tercantum dalam hadist, adalah mengeluarkan si pezina dari kampongnya ketempat lain yang paling dekat (semasafah qashar) namun menurut Zaid ibn ‘Ali, Ash Shadiq dan An-Nashir, arti tagrib adalah memenjarakannya selama satu tahun.
Umar pernah mengucilkan seorang pezina dari madina ke syam. Utsman pernah mentagribka  pezina ke mesir, Ibnu Unmar pernah mengucilkan budaknya ke fadak.
Menurut hadist jabir, hukuman cambuk digabungkan dengan hukuman rajam. Mengenai rajam, seluruh ulama sepakat, kecuali ulama khawarij dan sebagian ulama Mu’tazilah, seperti An-Nadham yang menolak hukuman raja mini, karena tidak tercantum dalam al-Qur’an
Ahmad, Ishaq, Daud dan Ibnu Mundzir, berpendapat bahwa terhadap pezina muhsan mewajibkan cambuk dan rajam.
Malik, Hanfiyah, Syafi’iyah dan jumhur ulama tidak mencambuk pezina muhsan dicambuk dan dirajam. Tidak disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidiah, Tidak disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidah, tidak cukup kuat untuk melawan hadist-hadist yang menyebutnya









BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman. Adapun menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.
Muhammad ibn Nashar mengatakan, bahwa seluruh ulama sependapat untuk mengusir perempuan perawan selama satu tahun ini dari kampungnya. Hanya ulama kufah saja yang tidak berpendapat demikian.
Diterangkan oleh Ibnu Mundzir, bahwa Umar mengumumkan hukum raja mini di atas mimbar dan hal ini dilaksanakan oleh seluruh Khulafa Rasyidin, Zaid Ibn ‘Ali, Ash Shadiq, Ibnu Abi Laila, Ats-Tsaury, Malik, Asy-Syafi’y, Ahmad dan Ishaq.
Abu Hanifah, dan Hammad Berpendapat, bahwa pengusiran selama satu tahun lamanya dan memenjarakannya, tidak wajib. Karena ketentuan ini tidak tercantum dalam Al-Qur’an.
Hadist-hadist yang mewajibkan mengusir (mengucilkan) si pezina perawan selama satu tahun dari kampungnya, adalah hadist-hadist masyhur. Karenanya kita heran melihat sikap ulama Hanafiyah yang tidak berpegang kepada hadist-hadist itu.
Menurut hadist jabir, hukuman cambuk digabungkan dengan hukuman rajam. Mengenai rajam, seluruh ulama sepakat, kecuali ulama khawarij dan sebagian ulama Mu’tazilah, seperti An-Nadham yang menolak hukuman raja mini, karena tidak tercantum dalam al-Qur’an
Ahmad, Ishaq, Daud dan Ibnu Mundzir, berpendapat bahwa terhadap pezina muhsan mewajibkan cambuk dan rajam.
Malik, Hanfiyah, Syafi’iyah dan jumhur ulama tidak mencambuk pezina muhsan dicambuk dan dirajam. Tidak disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidiah, Tidak disebutnya ada pencambukan dalam kasus Maiz dan Ghamidah, tidak cukup kuat untuk melawan hadist-hadist yang menyebutnya

B.     Saran
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.











Daftar Pustaka
Al-Asqalami, Al-Havizh Ibnu Hajar. GulGul Maraf. Jakarta: Akbar Media.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy. koleksi hadist-hadist hukum jilid 4. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, Terjemahan. Jakarta: Almahira, 2010



[1] Al-Asqalami, Al-Hayizh Ibnu Hajar, Gul-Gul Maraf, Akbar Media, Jakarta, hlm. 336 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar