Selasa, 03 Mei 2016

Pra Peradilan

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7). Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar praperadilan secara menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan literatur-literatur yang ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas, maka masalah yang diangkat adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana acara Praperadilan menurut KUHAP?
2.      Bagaimana kedudukan Praperadilan menurut KUHAP?
3.      Bagaimana ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP?

C.     Tujuan Penulisan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai berikut.
1.      Untuk mengetahui acara Praperadilan menurut KUHAP
2.      Untuk mengetahui kedudukan Praperadilan menurut KUHAP
3.      Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP


BAB III
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana yang dalam bahasa belanda disebut Strafprocesrecht, bahasa jerman disebut DeutschStrafprozessodnung, bahasa inggris disebut Criminal Procedure Rules, sering disebut hukum pidana formiil/formal sebagai pembeda dengan istilah hokum pidana materiil.
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan kata lain hokum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hokum pidana yang dibentuk untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Adapun pengertian hokum acara pidana menurut para ahli adalah sebagai berikut :
1.      Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut R. Soesilo adalah Hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga dapat memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
2.      Menurut J.C.T. Simorangkir, Pengertian Hukum Acara Pidana ialah hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materil.
3.      Van Bemmelen mengemukakan Pengertian Hukum Acara Pidana yaitu mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena diduga terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
4.      Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Pramadyaa Puspa adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus di tegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan.
5.      Menurut Soesilo Yuwono, Pengerian Hukum Acara Pidana ialah Ketentuan-ketentuan hukum yang memuat tentang hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana serta tata cara dari suatu proses pidana.

B.     Pengertian Praperadilan
Pra artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
            Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸ penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup alas an untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut.
1.      Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
2.      Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai berikut.
1.      Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
2.      Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3.      Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

C.     Acara Praperadilan Menurut Kuhap
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian [enyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.
1.      Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
2.      Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penanhanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada bentda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3.      Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
4.      Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
5.      Putusan praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penutut umu, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut dalam butir satu sampai dengan butir lima ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6.      Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP).
7.      Selain daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu memuat pula:
a.       Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b.      Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau pentuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c.       Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumlan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian, penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d.      Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

D.    Kedudukan Praperadilan
            Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka Praperadilan berwenang untuk:
1.      Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2.      Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3.      Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4.      Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara yang agak menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja, memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.
Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali. Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa (buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

E.     Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Praperadilan
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat hubungannya dengan jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada praperadilan itu sendiri. Dengan demikian maka pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan dikelompokkan menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya permintaan pemeriksaan praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan.
1.      Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHAP, pihak Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi kuasa oleh tersangka) berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
2.      Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP memberikan hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
3.      Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Bila dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi pengawasan secara timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum diberikan hak untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam KUHAP, telah diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dengan demikian, jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum kepada praperadilan.
4.      Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan:
a.       Penangkapan atau penahanan tidak sah;
b.      Penggeladahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah;
c.       Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
d.      Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi karena sahnya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
e.       Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
1)      Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
2)      Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan.

F.     Ruang Lingkup Praperadilan Menurut Kuhap
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1.      Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.      Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.
















BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan kata lain hokum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hokum pidana yang dibentuk untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Pra artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

  1. Saran
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Adnan Nasution. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3S.
Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: PT. Rangkang
Education.
Ervan Saropie. 2009. Lembaga Hakim Literatur. Fakultas Hukum Universitas
            Indonesia.
Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
            (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Oemar Seno Adji. 1980. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.
Ratna Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika
Presindo.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar