BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seperti
yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak
pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan
dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan
kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat
justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak
ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak
asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan
praperadilan.
Pra
Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan
inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau
penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al.
Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7). Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P.
Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen),
sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan
penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah
lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.
Munculnya
lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip
dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus
jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau
gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan
bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Hadirnya
praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya
merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada
setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Berdasarkan
pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas.
Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar praperadilan secara
menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan literatur-literatur yang
ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
paparan diatas, maka masalah yang diangkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
acara Praperadilan menurut KUHAP?
2. Bagaimana
kedudukan Praperadilan menurut KUHAP?
3. Bagaimana
ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai berikut.
1. Untuk
mengetahui acara Praperadilan menurut KUHAP
2. Untuk
mengetahui kedudukan Praperadilan menurut KUHAP
3. Untuk
mengetahui ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Acara Pidana
Hukum
acara pidana yang dalam bahasa belanda disebut Strafprocesrecht, bahasa jerman
disebut DeutschStrafprozessodnung, bahasa inggris disebut Criminal Procedure
Rules, sering disebut hukum pidana formiil/formal sebagai pembeda dengan
istilah hokum pidana materiil.
Hukum
acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui
organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan
menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan
kata lain hokum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses
peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hokum pidana yang dibentuk
untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Adapun
pengertian hokum acara pidana menurut para ahli adalah sebagai berikut :
1. Pengertian
Hukum Acara Pidana Menurut R. Soesilo adalah Hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga
dapat memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus
dilaksanakan.
2. Menurut
J.C.T. Simorangkir, Pengertian Hukum Acara Pidana ialah hukum acara yang
melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materil.
3. Van
Bemmelen mengemukakan Pengertian Hukum Acara Pidana yaitu mempelajari
peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena diduga terjadi pelanggaran
undang-undang pidana.
4. Pengertian
Hukum Acara Pidana Menurut Pramadyaa Puspa adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus di tegakkan atau
dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara
bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si
pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana
pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus
menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan.
5. Menurut
Soesilo Yuwono, Pengerian Hukum Acara Pidana ialah Ketentuan-ketentuan hukum
yang memuat tentang hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses
pidana serta tata cara dari suatu proses pidana.
B. Pengertian
Praperadilan
Pra
artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi
fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi
hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’
Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga
rechter commissris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai
perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang
mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸ penahanan,
penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. Menurut
KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim
komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu
penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain
itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap
pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan
terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis,
mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat
berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah
pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu
perkata cukup alas an untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau
cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman
yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan
membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.
Namun
demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’
Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang
ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan
petunjuk-petunjuk jaksa.
Menurut
KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan
pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan
pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah
tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan
diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum.
Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada
kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan
dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu
sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia.
Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah
tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Tugas
praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal
77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa
dan memutus tentang berikut.
1. Sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
2. Ganti
kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu
oleh seorang panitera.
Dalam
pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok
sebagai berikut.
1. Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang
diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya
2. Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3. Permintaan
ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau penahanan atau
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
C. Acara
Praperadilan Menurut Kuhap
Acara
praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu
penghentian [enyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang
penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan
(Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.
1. Dalam
waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan
hari sidang.
2. Dalam
memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penanhanan sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada bentda yang disita yang
tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau
pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan
tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, hakim harus
sudah menjatuhkan putusannya.
4. Dalam
hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum selesai maka
permintaan tersebut gugur.
5. Putusan
praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penutut
umu, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut dalam butir
satu sampai dengan butir lima ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6. Putusan
hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut dimuka harus
memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP).
7. Selain
daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu memuat pula:
a. Dalam
hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka
penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus
segera membebaskan tersangka.
b. Dalam
hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan
tidak sah, penyidikan atau pentuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c. Dalam
hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka
dalam putusan dicantumlan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian, penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya.
d. Dalam
hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan tidak termasuk alat
pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
D. Kedudukan
Praperadilan
Pasal
78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang Pengadilan
untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang
ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan
atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka Praperadilan berwenang untuk:
1. Memerintahkan
pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan jumlah besarnya
ganti rugi dan rehabilitasi;
2. Menetapkan
rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3. Menetapkan
penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4. Supaya
benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan kepada
tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
Dari
ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan
Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang
terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana
biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan
khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga
Praperadilan dalam hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim
Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai
wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili perkara tindak pidana ekonomi
semata-mata, dan mempunyai acara yang agak menyimpang dari hukum acara pidana
umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam
undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan dengan lembaga
Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam KUHAP.
Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja,
memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.
Selanjutnya
dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan pidana
ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga
dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau
dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan
dan pengusutan adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP
tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi
proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana
harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik atau
penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali. Kedudukan
hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan
hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus
tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus
perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim dalam
lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita
juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa
(buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan
keadilan.
E. Pihak-Pihak
Yang Dapat Mengajukan Praperadilan
Pihak-pihak
yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat hubungannya dengan
jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada praperadilan itu sendiri. Dengan
demikian maka pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan
dikelompokkan menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya permintaan
pemeriksaan praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak
mengajukan permintaan.
1. Tersangka,
keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHAP, pihak
Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi kuasa oleh tersangka)
berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan.
2. Penuntut
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP memberikan hak kepada
penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan
kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik.
3. Penyidik
atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum. Bila dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini
terjadi pengawasan secara timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut
umum diberikan hak untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian
penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam
KUHAP, telah diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak kepada pihak
ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau
tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dengan demikian,
jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang
dilakukan oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang
dilakukan oleh penuntut umum kepada praperadilan.
4. Tersangka,
ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa
tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
kepada praperadilan atas alasan:
a. Penangkapan
atau penahanan tidak sah;
b. Penggeladahan
atau penyitaan tanpa alasan yang sah;
c. Karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
d. Tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (2)
KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi karena sahnya penghentian penuntutan
yang dilakukan oleh penuntut umum.
e. Tersangka
Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan
rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
1) Penangkapan
atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
2) Kekeliruan
mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak
diteruskan ke pengadilan.
F. Ruang
Lingkup Praperadilan Menurut Kuhap
Ruang
lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah
pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1. Sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
2. Ganti
kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP
merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang
dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang
lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan
undang-undang.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum
acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui
organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan
menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan
kata lain hokum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses
peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hokum pidana yang dibentuk
untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Pra
artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi
fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi
hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’
Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
- Saran
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan
Nasution. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3S.
Andi
Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: PT. Rangkang
Education.
Ervan
Saropie. 2009. Lembaga Hakim Literatur. Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Hamzah
Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
M.
Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan
dan Penuntutan). Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Oemar
Seno Adji. 1980. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.
Ratna
Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika
Presindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar