Sabtu, 21 Juni 2014

Analisis Undang - Undang Ketenagaankerja

A.    Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
Politik peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965), hanya dapat dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan telah melihat kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan fisiknya untuk bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk menjalankan. Tidak pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian kesejahteraan termasuk di dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh pengusaha yang terlebih duhulu diproses pemerintah periode Orla
.
Sebenarnya penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan oleh;
1)      Pertama, pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama antara buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus jelas dan tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian kerja dimana buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah buruh yang bekerja pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja yaitu majikan, sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
2)      Kedua, pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode ini, dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS (1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).
3)      Ketiga, dalam kondisi politik-ekonomi mempengaruhi pendapatan buruh (1950-1965), sehingga ILO mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensinya No.98 Tahun 1949 yang kemudian menjadi UU No.18 Tahun 1956 dalam masalah jamian dan perlindungan kaum buruh. Dengan kembali pemberlakukan UUD 1945 untuk kedua kalinya melalui Dektri Presiden 5 Juli 1959, masalah perburuhan secara umum dan masalah pengupahan secara khusus masih belum ada secara konkrit pengupahan buruh untuk memberikan perlindungan buruh yang datangnya dari pemerintah dan pengusaha. Bahkan periode ini telah memberikan peluang bagi partai komunis yang memanfaatkan kondisi buruh sektor pertanian sebagai alat propoganda untuk memojokkan perjuangan buruh, karena melahirkan "Demokrasi Terpimpin" termasuk terpimpin mengingat belum profesional kinerja segala bidang sehingga pengendalian harga melalui komando, dan ancaman-ancaman sanksi dari perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, misalnya undang-undang anti subversi, dan mahkamah-khusus untuk kejahatan-kejahatan ekonomi berjalan sesuai dengan kemauan pemerintah.

a)      Masa Orde Lama
Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang penting. Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan nasional, melalui yang disebut dengan “ Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di Indonesia”, aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik ( 1945-1949 ), menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa pada masa awal kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat Kerja diterbitkan oleh pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang ini member sinyal beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang mana sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “ no work no pay”.
Kemudian menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan, undang-undang ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh, seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu, kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan. Undang-undang ini bisa dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu itu, yang kemudian menjadi dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di Indonesia yang prospektif.
Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis, dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
b)      Pada Masa Orde Baru
Pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Orde Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian dan penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen konstelasi kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi buruh. Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya.
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru.
Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini, pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal, seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran Orde Lama.
Meskipun stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Kondisi perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme.
Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri.
Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
Seperti yang kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.
Bahaya intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau "mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.
Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat menghilangkan keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat dengan efektif digunakan karena pada masa ini hukum berada di bawah intervensi pemerintah yang memerintah secara Diktator.
c)      Masa Reformasi
Sejak berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh dimulai dengan dibukanya kebebasan berserikat meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. Pada masa ini SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Pada masa ini telah dapat dipastikan bahwa LSM memegang peranan penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh . Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Dua belas LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan Undang-Undang tersebut ditandai dengan keluarnya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa Undang-Undang itu harus ditolak.
Dalam pandangan KPHP Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ini juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh.
Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun Undang-Undang untuk mengatur perburuhan kembali ke Undang-Undang lama sebelum akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
d)     Masa Sekarang
Perkembangan hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
·         Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;
·         Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
·         Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
·         Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini maka sistem keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system menjadi multi union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif.
UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/ 2003 ini juga mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
·         Perjanjian Kerja Waktu tertentu: Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.
·         Outsourcin: Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia.

B.     Analisis secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

a)      Analisis Secara Filosofis
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat untuk melancarkan proses pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alasan filosofis lainnya adalah untuk menggantikan produk hukum yang lama karena dianggap menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hubungan industrial. Beberapa pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai merugikan buruh. Sementara di lapangan menunjukkan hal yang tidak sinkron, sebab banyak pekerja yang merasa dirugikan karena putusan sepihak yang dilakukan oleh pengusaha.
Hal ini dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan Saipul Tavip dkk pada akhir 2004 silam. Saat itu Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada pengusaha untuk memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan berat.
b)      Analisis Secara Yuridis
            Undang-Undang Ketenagakerjaan kembali direvisi pada tahun 2010. Pengajuan dilakukan Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi: 
1)      Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
2)      Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) di atas mengatur mengenai syarat perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Kemudian pada akhir tahun 2011, sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) yang berbunyi: “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” Pasal ini berisi tentang upah proses untuk diuji dan dikabulkan Mahkamah Konstitusi sebagian. Terakhir adalah putusan MK di awal tahun 2012 yang mengabulkan permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait pasal yang mengatur mengenai outsourching. MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat. Pemerintah sebenarnya sadar bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah tak utuh lagi. Oleh karena itu, Menteri Tenaga dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan Undang-Undang Ketenagakerjaan layak untuk disempurnakan.
Terkait dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan berarti akan menyangkut pula setidaknya dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini yang kerap bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja menuntut kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.
Perbedaan mengenai perlu tidaknya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini.
Pendapat yang sama, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh untuk menyiapkan draf revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu pemicunya adalah banyaknya putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sementara di dunia usaha menginginkan agar ketentuan di Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tergolong memberatkan pengusaha, direvisi. Salah satu ketentuan yang dianggap memberatkan pengusaha adalah mengenai pesangon.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto punya pandangan yang lebih konseptual mengenai pentingnya mengganti Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurutnya ada ketidakselarasan antara judul, maksud dan substansi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dari segi isinya, Undang-Undang Ketenagakerjaan mayoritas membahas mengenai perburuhan saja. Jika undang-undang itu disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan seharusnya yang termaktub bukan hanya mengatur masalah perburuhan, tapi ketenagakerjaan yang lebih luas, misalnya petani, nelayan dan wiraswasta. Karena sektor pekerjaan yang disebut itu menginginkan kelangsungan pekerjaan dan jaminan sosial, sebagaimana buruh.
Atas dasar itu Djimanto merasa perlu ada pemisahan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang yang menyangkut pekerja di sektor lain, namun Undang-Undang utama ada di Undang-Undang Ketenagakerjaan. Misalnya Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya membahas perihal pokok ketengakerjaan sedangkan untuk pekerja sektor informal ada Undang-Undang Sektor Informal, Undang-Undang Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut Djimanto hal tersebut akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan
Berbicara mengenai fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat dicegah setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan dalam faktanya masih jauh dari peraturan yang telah ditulis serta mengikat bagi siapa pun yang menjadi tanggungjawab menjalankannya. Untuk masalah pengupahan saja, para pengusaha di Indonesia masih menggeneralisasi tentang kenaikan UMP yang sama dengan kenaikan gaji. Gaji semestinya terdiri dari UMP ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap. Hal ini, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: UMP yang telah ditetapkan melalui SK pemerintah yang tidak pernah dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya Disnakertrans dan juga tidak dikawal oleh para pekerja baik yang sudah tergabung dalam asosiasi maupun yang belum. Perusahaan di daerah Bandung pun masih mendiskreditkan tentang masalah pengupahan yang telah diatur pada Pasal 93 yang menyatakan wajib bagi para pengusaha untuk memberikan upah bagi pekerjanya yang sakit selama 12 bulan sebelum pemutusan hak kerja.
c)      Analisis Secara Sosiologis
Masalah kesejahteraan bagi para pekerja oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2003 masih kurang lengkap dibahas secara mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Memang sampai saat ini Indonesia telah mengatur kesejahteraan bagi para pekerja yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru pada tanggal 19 Oktober 2004 dibuat, namun sampai waktu yang telah ditentukan undang-undang tersebut masih belum bisa dijalankan oleh karena belum terselenggaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sampai saat ini masih digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, 11 Peraturan Pemerintah serta 10 Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi para pekerja Indonesia dengan BPJS sebagai penyelenggara Undang-Undang SJSN tersebut. Oleh karena itu, para Serikat Pekerja Sosial Nasional dan Komite Aksi Jaminan Sosial sampai saat ini terus mendesak Pemerintah untuk segera memberlakukan BPJS. Sebab sampai saat ini para pekerja masih diambang kebingungan serta ketakutan akan lima jaminan yang belum dilindungi. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun serta Jaminan Kematian.
Hubungan Industrial yang tercantum pada Bab XI telah secara mendetail diatur oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Pada hubungan industrial tersebut mengatakan bahwa bagi para pengusaha yang telah memiliki pekerja 50 orang wajib untuk membentuk kerjasama bipartit: forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja atau buruh.
Seperti yang tercantum pada Pasal 107, bahwa lembaga kerjasama tripartit adalah untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga kerjasam tripartit ini berskala Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Dalam Undang-Undang  Bab XI ini, pengusaha dan pekerja bersama-sama menyusun perjanjian kerjasama yang baik, yang tidak berat sebelah dan melindungi hak-hak para pekerjanya melalui pasal 116 dengan cara musyawarah, tertulis dan tersumpah. Selain itu, diatur pula cara penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial yang dijalankan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat yang tercantum pada pasal 136. Apabila tidak terjadi jalan tengah yang diinginkan oleh kedua belah pihak, maka akan terjadi pemogokan kerja yang dilakukan oleh seorang atau organisasi pekerja sampai tuntutan para pekerja tersebut dipenuhi, hal ini juga tercantum pada paragraph kedua dari pasal 137 sampai dengan pasal 145.
Secara garis besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir tercukupi, namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang harus dibuat secara terperinci. Contoh, pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan. Pada hal kesejahteraan, undang-undang ini masih saya anggap kurang memiliki keberpihakan pada para pekerja, sebab dalam undang-undang ini hanya dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan jaminan sosial serta kesejahteraan para pekerja dan anggota keluarganya, namun bagaimana penentuan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut tidak ada pada pasal-pasal secara teperinci membahas hal tersebut, selain itu, untuk masalah ini pemerintah hanya membuat tiga undang-undang tentang kesejahteraan pekerja yang masih sampai saat ini menjadi polemik antara pengusaha dan pekerja, hal ini dirasa kurang cukup untuk menyejahterakan para pekerja Indonesia.
Apa yang telah diuraikan Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO yang telah diratifikasi adalah suatu standard yang paling mendasar (Fundamental Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan  yang tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun perundang-undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi Perburuhan Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar kewajiban-kewajiban hukum yang ditimbulkan.
Setiap anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja “untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja atau serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang dibicarakan dalam serikat pekerja; hak–hak dasar, hak–hak fundamental, ILO Core Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama–nama lainnya, sesungguhnya adalah sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai hak tersebut ataupun tidak berani ”meminta” hak tersebut. Sebagai perorangan pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya (“meminta haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka membutuhkan organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan hak-haknya.
C.     Kelemahan Undang - Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan
a)      Dalam hukum ketenagakerjaan, Pemerintah sangat berpengaruh terhadap perburuhan di Indonesia ini. Turut campur Pemerintah dalam dunia perburuhan dimaksudkan agar terciptanya hubungan industrial yang baik antara buruh/pekerja dengan instansinya. Tidak hanya mewujudkan hubungan yang baik dengan instansi terkait, melainkan juga agar terwujud hubungan industrial yang adil tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Karena jika hubungan antara pekerja dengan instansi atau pengusaha yang sangat berbeda dari segi ekonomi dan sosialnya diserahkan kepada para pihak yang terkait, maka tujuan untuk menciptakan keadilan antara pekerja dengan pengusaha tidak akan terwujud. Karena sudah banyak contoh kasus yang nyata tentang ketidak adilan pengusaha terhadap para pekerja di Indonesia ini. Atas dasar itulah Pemerintah ikut andil dalam Hukum Perburuhan atau ketenagakerjaan melalui peraturan perundang-undangan untuk memastikan dan menjamin hak setiap pekerja kepada pengusaha.
b)      Bentuk intervensi Pemerintah dalam bidang Perburuhan pun beraneka ragam. Tidak hanya membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Hukum Ketenagakerjaan, melainkan banyak program yang dilaksanakan Pemerintah. Contohnya saja Balai Latihan Kerja (BLK), Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan lain-lain. Balai Latihan Kerja (BLK) adalah sebuah wadah yang menampung kegiatan pelatihan untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori. BLK berfungsi untuk merumuskan Kebijakan Teknis di bidang Pelatihan tenaga kerja, pelaksanaan Pelayanan Umum bidang Pelatihan tenaga kerja dan Pemberian pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah daerah. Sedangkan Balai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia adalah pemberian pelayanan secara cepat, mudah, efektif, dan efisien dalam rangka penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Semua itu adalah salah satu bukti intervensi Pemerintah dalam bidang Perburuhan atau Ketenagakerjaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar