A. Sejarah
Hukum Ketenagakerjaan
Politik
peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965), hanya dapat
dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat
(3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan telah melihat
kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan fisiknya untuk
bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk menjalankan. Tidak
pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian kesejahteraan termasuk di
dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh pengusaha yang terlebih duhulu
diproses pemerintah periode Orla
.
.
Sebenarnya
penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan oleh;
1) Pertama,
pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama antara
buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang dilakukan
secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus jelas dan
tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian kerja dimana
buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah buruh yang bekerja
pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja yaitu majikan,
sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
2) Kedua,
pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode ini,
dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak
pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan
RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan
tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS
(1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh
SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).
3) Ketiga,
dalam kondisi politik-ekonomi mempengaruhi pendapatan buruh (1950-1965),
sehingga ILO mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensinya No.98 Tahun 1949
yang kemudian menjadi UU No.18 Tahun 1956 dalam masalah jamian dan perlindungan
kaum buruh. Dengan kembali pemberlakukan UUD 1945 untuk kedua kalinya melalui
Dektri Presiden 5 Juli 1959, masalah perburuhan secara umum dan masalah
pengupahan secara khusus masih belum ada secara konkrit pengupahan buruh untuk
memberikan perlindungan buruh yang datangnya dari pemerintah dan pengusaha.
Bahkan periode ini telah memberikan peluang bagi partai komunis yang
memanfaatkan kondisi buruh sektor pertanian sebagai alat propoganda untuk
memojokkan perjuangan buruh, karena melahirkan "Demokrasi Terpimpin"
termasuk terpimpin mengingat belum profesional kinerja segala bidang sehingga
pengendalian harga melalui komando, dan ancaman-ancaman sanksi dari
perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, misalnya undang-undang
anti subversi, dan mahkamah-khusus untuk kejahatan-kejahatan ekonomi berjalan
sesuai dengan kemauan pemerintah.
a) Masa
Orde Lama
Dalam
merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang penting.
Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan nasional, melalui
yang disebut dengan “ Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di
Indonesia”, aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Sumbangan
bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik ( 1945-1949 ),
menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia
mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembentukan
kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan bahwa pada masa awal kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan
hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat
protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat Kerja diterbitkan oleh
pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang ini member sinyal
beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang mana
sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau
dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “ no work no pay”.
Kemudian
menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang Perlindungan Buruh dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan, undang-undang
ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh, seperti larangan
diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu,
kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan, larangan
mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan
untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan.
Undang-undang ini bisa dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu itu,
yang kemudian menjadi dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di
Indonesia yang prospektif.
Pada
tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis,
dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh
atau pekerja dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelumnya
sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis
dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun 1956 yang
meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin
lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
b) Pada
Masa Orde Baru
Pada
Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak
serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa
itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan
disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis,
Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Untuk
mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam
dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan
UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat
Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan
sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan
kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan
Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Orde
Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian dan
penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen konstelasi
kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi buruh.
Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi dalam
sejarah sebelumnya.
Orde
Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu
tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah
menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor
paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru.
Rejim
Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation)
dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini,
pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang
penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda
utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan
kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal, seperti gerakan buruh
yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah
kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai
politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran
Orde Lama.
Meskipun
stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa
terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri
dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi
buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat
atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai
kekuatan sosial.
Kondisi
perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model
akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung
terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan
signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan
pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang
ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme.
Pada
periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin
kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah
satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus
Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri.
Selain
sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa
buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak
tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James Castle
menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai
oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
Seperti
yang kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan
bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara
mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa
dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai
intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar
doktrin laissez-faire.
Bahaya
intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami
semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau
siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau
"mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum
modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia
menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan
pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi
wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para
ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.
Dalam
alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat
menghilangkan keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari
kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat
dengan efektif digunakan karena pada masa ini hukum berada di bawah intervensi
pemerintah yang memerintah secara Diktator.
c) Masa
Reformasi
Sejak
berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh dimulai dengan
dibukanya kebebasan berserikat meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui
pemerintah. Pada masa ini SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) melahirkan
jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme
dan menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Pada
masa ini telah dapat dipastikan bahwa LSM memegang peranan penting dalam
membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh . Gerakan LSM perburuhan
ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan
dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Dua
belas LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi
Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi
penolakan Undang-Undang tersebut ditandai dengan keluarnya buku yang berisi
pemikiran para ahli mengenai mengapa Undang-Undang itu harus ditolak.
Dalam
pandangan KPHP Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti
jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebasan berorganisasi dan mogok, lembaga
penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 ini juga dilengkapi dengan aksi massa oleh
kelompok-kelompok buruh.
Situasi
politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten
yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan silih berganti dalam kurun waktu
amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan Undang-Undang
tersebut menunjukkan bahwa penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun
Undang-Undang untuk mengatur perburuhan kembali ke Undang-Undang lama sebelum
akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
d) Masa
Sekarang
Perkembangan
hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
·
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;
·
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
·
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial;
·
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004
tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri.
Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengubah sistem
keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini maka sistem
keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system menjadi multi
union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000,
sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu
perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU
No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui
serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai
nilai positif.
UU
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997
yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/ 2003 ini juga
mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal
yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
·
Perjanjian Kerja Waktu tertentu: Di satu
sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang
berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di
lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila
ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut
akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke
permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian
kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu
tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain
kecuali menerima tawaran itu.
·
Outsourcin: Sejak diundangkannya UU
No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha
dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource adalah buruhnya
perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh
outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa
diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa
pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan
pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up
oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan
perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini
disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam
hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja.
Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh
apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan
memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali
melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa
melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melagalkan bukan sekedar
perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran
hak asasi manusia.
B. Analisis
secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
a) Analisis
Secara Filosofis
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat untuk melancarkan proses
pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Alasan filosofis lainnya adalah untuk menggantikan produk
hukum yang lama karena dianggap menempatkan pekerja pada posisi yang kurang
menguntungkan dalam hubungan industrial. Beberapa pasal Undang-Undang
Ketenagakerjaan justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai merugikan
buruh. Sementara di lapangan menunjukkan hal yang tidak sinkron, sebab banyak
pekerja yang merasa dirugikan karena putusan sepihak yang dilakukan oleh
pengusaha.
Hal
ini dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial
review yang diajukan Saipul Tavip dkk pada akhir 2004 silam. Saat itu Mahkamah
Konstitusi membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada pengusaha untuk
memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan berat.
b) Analisis
Secara Yuridis
Undang-Undang Ketenagakerjaan kembali direvisi pada tahun 2010. Pengajuan
dilakukan Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
1) Dalam
hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
2) Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
Pasal
120 ayat (1) dan ayat (2) di atas mengatur mengenai syarat perundingan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Kemudian
pada akhir tahun 2011, sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) yang
berbunyi: “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya.” Pasal ini berisi tentang upah proses untuk diuji dan
dikabulkan Mahkamah Konstitusi sebagian. Terakhir adalah putusan MK di awal
tahun 2012 yang mengabulkan permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca
Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait pasal yang mengatur mengenai
outsourching. MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Pemerintah sebenarnya sadar bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah tak utuh
lagi. Oleh karena itu, Menteri Tenaga dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin
Iskandar mengatakan Undang-Undang Ketenagakerjaan layak untuk disempurnakan.
Terkait
dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan berarti akan menyangkut pula setidaknya
dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan
ini yang kerap bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja
menuntut kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung
sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan
Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.
Perbedaan
mengenai perlu tidaknya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ternyata juga
terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai
revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini.
Pendapat
yang sama, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra
Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh
untuk menyiapkan draf revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu
pemicunya adalah banyaknya putusan MK yang membatalkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Sementara
di dunia usaha menginginkan agar ketentuan di Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang tergolong memberatkan pengusaha, direvisi. Salah satu ketentuan yang
dianggap memberatkan pengusaha adalah mengenai pesangon.
Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto punya pandangan yang lebih
konseptual mengenai pentingnya mengganti Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Menurutnya ada ketidakselarasan antara judul, maksud dan substansi
Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dari
segi isinya, Undang-Undang Ketenagakerjaan mayoritas membahas mengenai
perburuhan saja. Jika undang-undang itu disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan
seharusnya yang termaktub bukan hanya mengatur masalah perburuhan, tapi
ketenagakerjaan yang lebih luas, misalnya petani, nelayan dan wiraswasta.
Karena sektor pekerjaan yang disebut itu menginginkan kelangsungan pekerjaan
dan jaminan sosial, sebagaimana buruh.
Atas
dasar itu Djimanto merasa perlu ada pemisahan antara Undang-Undang
Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang yang menyangkut pekerja di sektor lain,
namun Undang-Undang utama ada di Undang-Undang Ketenagakerjaan. Misalnya
Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya membahas perihal pokok ketengakerjaan
sedangkan untuk pekerja sektor informal ada Undang-Undang Sektor Informal,
Undang-Undang Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut Djimanto hal tersebut
akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan
Berbicara
mengenai fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan perlakuan dalam
pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat dicegah
setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan
dalam faktanya masih jauh dari peraturan yang telah ditulis serta mengikat bagi
siapa pun yang menjadi tanggungjawab menjalankannya. Untuk masalah pengupahan
saja, para pengusaha di Indonesia masih menggeneralisasi tentang kenaikan UMP
yang sama dengan kenaikan gaji. Gaji semestinya terdiri dari UMP ditambah
dengan tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap. Hal ini, disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: UMP yang telah ditetapkan melalui SK pemerintah
yang tidak pernah dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya Disnakertrans
dan juga tidak dikawal oleh para pekerja baik yang sudah tergabung dalam
asosiasi maupun yang belum. Perusahaan di daerah Bandung pun masih
mendiskreditkan tentang masalah pengupahan yang telah diatur pada Pasal 93 yang
menyatakan wajib bagi para pengusaha untuk memberikan upah bagi pekerjanya yang
sakit selama 12 bulan sebelum pemutusan hak kerja.
c) Analisis
Secara Sosiologis
Masalah
kesejahteraan bagi para pekerja oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2003 masih
kurang lengkap dibahas secara mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal
yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat
(3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2):
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.”
Memang
sampai saat ini Indonesia telah mengatur kesejahteraan bagi para pekerja yang
termaktub dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru pada
tanggal 19 Oktober 2004 dibuat, namun sampai waktu yang telah ditentukan
undang-undang tersebut masih belum bisa dijalankan oleh karena belum
terselenggaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sampai saat ini
masih digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, 11 Peraturan Pemerintah serta 10
Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) bagi para pekerja Indonesia dengan BPJS sebagai penyelenggara
Undang-Undang SJSN tersebut. Oleh karena itu, para Serikat Pekerja Sosial
Nasional dan Komite Aksi Jaminan Sosial sampai saat ini terus mendesak
Pemerintah untuk segera memberlakukan BPJS. Sebab sampai saat ini para pekerja
masih diambang kebingungan serta ketakutan akan lima jaminan yang belum dilindungi.
Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun
serta Jaminan Kematian.
Hubungan
Industrial yang tercantum pada Bab XI telah secara mendetail diatur oleh
Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Pada hubungan industrial tersebut mengatakan
bahwa bagi para pengusaha yang telah memiliki pekerja 50 orang wajib untuk
membentuk kerjasama bipartit: forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah
tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja atau buruh.
Seperti
yang tercantum pada Pasal 107, bahwa lembaga kerjasama tripartit adalah untuk
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
Lembaga kerjasam tripartit ini berskala Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau
Kota.
Dalam
Undang-Undang Bab XI ini, pengusaha dan pekerja bersama-sama menyusun
perjanjian kerjasama yang baik, yang tidak berat sebelah dan melindungi hak-hak
para pekerjanya melalui pasal 116 dengan cara musyawarah, tertulis dan
tersumpah. Selain itu, diatur pula cara penyelesaian perselisihan dalam
hubungan industrial yang dijalankan oleh kedua belah pihak secara musyawarah
dan mufakat yang tercantum pada pasal 136. Apabila tidak terjadi jalan tengah
yang diinginkan oleh kedua belah pihak, maka akan terjadi pemogokan kerja yang
dilakukan oleh seorang atau organisasi pekerja sampai tuntutan para pekerja
tersebut dipenuhi, hal ini juga tercantum pada paragraph kedua dari pasal 137
sampai dengan pasal 145.
Secara
garis besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir
tercukupi, namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang
harus dibuat secara terperinci. Contoh, pada Bab X tentang Perlindungan,
Pengupahan dan Kesejahteraan. Pada hal kesejahteraan, undang-undang ini masih
saya anggap kurang memiliki keberpihakan pada para pekerja, sebab dalam
undang-undang ini hanya dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan jaminan
sosial serta kesejahteraan para pekerja dan anggota keluarganya, namun
bagaimana penentuan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut tidak ada pada
pasal-pasal secara teperinci membahas hal tersebut, selain itu, untuk masalah
ini pemerintah hanya membuat tiga undang-undang tentang kesejahteraan pekerja
yang masih sampai saat ini menjadi polemik antara pengusaha dan pekerja, hal
ini dirasa kurang cukup untuk menyejahterakan para pekerja Indonesia.
Apa
yang telah diuraikan Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO yang
telah diratifikasi adalah suatu standard yang paling mendasar (Fundamental
Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun
perundang-undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi Perburuhan
Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar kewajiban-kewajiban
hukum yang ditimbulkan.
Setiap
anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang
dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja “untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan
hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak
pekerja atau serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang
dibicarakan dalam serikat pekerja; hak–hak dasar, hak–hak fundamental, ILO Core
Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama–nama lainnya, sesungguhnya adalah
sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai
hak tersebut ataupun tidak berani ”meminta” hak tersebut. Sebagai perorangan
pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya (“meminta
haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka membutuhkan
organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan hak-haknya.
C. Kelemahan
Undang - Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan
a) Dalam
hukum ketenagakerjaan, Pemerintah sangat berpengaruh terhadap perburuhan di
Indonesia ini. Turut campur Pemerintah dalam dunia perburuhan dimaksudkan agar
terciptanya hubungan industrial yang baik antara buruh/pekerja dengan
instansinya. Tidak hanya mewujudkan hubungan yang baik dengan instansi terkait,
melainkan juga agar terwujud hubungan industrial yang adil tanpa ada pihak yang
merasa dirugikan. Karena jika hubungan antara pekerja dengan instansi atau
pengusaha yang sangat berbeda dari segi ekonomi dan sosialnya diserahkan kepada
para pihak yang terkait, maka tujuan untuk menciptakan keadilan antara pekerja
dengan pengusaha tidak akan terwujud. Karena sudah banyak contoh kasus yang
nyata tentang ketidak adilan pengusaha terhadap para pekerja di Indonesia
ini. Atas dasar itulah Pemerintah ikut andil dalam Hukum Perburuhan atau
ketenagakerjaan melalui peraturan perundang-undangan untuk memastikan dan
menjamin hak setiap pekerja kepada pengusaha.
b) Bentuk
intervensi Pemerintah dalam bidang Perburuhan pun beraneka ragam. Tidak hanya
membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Hukum Ketenagakerjaan,
melainkan banyak program yang dilaksanakan Pemerintah. Contohnya saja Balai
Latihan Kerja (BLK), Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan
lain-lain. Balai Latihan Kerja (BLK) adalah sebuah wadah yang menampung
kegiatan pelatihan untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta
mengembangkan keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos
kerja yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori. BLK
berfungsi untuk merumuskan Kebijakan Teknis di bidang Pelatihan tenaga kerja,
pelaksanaan Pelayanan Umum bidang Pelatihan tenaga kerja dan Pemberian
pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah daerah. Sedangkan Balai
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia adalah pemberian pelayanan secara cepat,
mudah, efektif, dan efisien dalam rangka penempatan dan perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia. Semua itu adalah salah satu bukti intervensi Pemerintah dalam
bidang Perburuhan atau Ketenagakerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar