BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Masalah
Dalam
penjelasan umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya
jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the
law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut
untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
hukum, penegakan HAM, serta pemberantasan KKN.
Dalam
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, kejaksaan RI sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus
mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran
berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan
kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya
dalam proses pembangunan antara lain: turut menciptakan kondisi yang mendukung
dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan
menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan
masyarakat.
Kejaksaan
dalam mengimplementasikan tugas dan wewenangnya secara kelembagaan tersebut,
diwakili oleh petugas atau pegawai kejaksaan yang disebut “Jaksa”. Seorang
jaksa sebelum memangku jabatannya tersebut harus mengikrarkan dirinya bersumpah
atau berjanji sebagai pertanggungjawaban dirinya kepada Negara, bangsa, dan
lembaganya.
Kode
Etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam melaksanakan tugas Jaksa
sebagai pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan adalah insani yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berasaskan satu dan tidak
terpisah-pisahkan, bertindak berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan
mengidahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat berpedoman kepada Doktrin Tata Krama Adhyaksa.
Dengan
adanya Kode Etik maka akan memperkuat sistem pengawasan terhadap Jaksa, karena
disamping ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar juga ada kode etik
yang dilanggar.
- Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan yang didapatkan dari latar belakang adalah sebagai berikut :
- Bagaimana
bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara ?
- Bagaimana
bentuk kode etik, sumpah, serta sanksi dan semua hal yang mencakup kineja
profesi kejaksaan ?
- Tujuan
- Untuk
mengetahui Bagaimana bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam
menyelesaikan suatu perkara
- Untuk
Mengetahui Bagaimana bentuk kode etik, sumpah, serta sanksi dan semua hal
yang mencakup kineja profesi kejaksaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Memperhatikan
kedudukan jaksa yang sangat strategis dalam penegakan Hukum di Indonesia, Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang 16 tahun 2004 menegaskan bahwa : “Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Dalam
Undang-Undang 16 tahun 2004 Pasal satu juga disebutkan tentang Penuntut Umum,
penuntutan, dan Jabatan Fungsional Jaksa. Oleh karna itu, kami juga
mencantumkannya disini.
Penuntut
Umum : Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Penuntutan
adalah “Tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.
Dan
Jabatan Fungsional Jaksa adalah : Jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan
tugas kejaksaan. Profesi jaksa adalah profesi yang mulia, mewakili negara dalam.
B. Tugas
dan Wewenang Jaksa
Memperhatikan
kedudukan jaksa yang sangat strategis dalam penegakan Hukum di Indonesia, Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang 16 tahun 2004 menegaskan bahwa : “Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Mengacu
pada UU, maka pelaksanaan kekuasaan
negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka.
Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.
UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Telah mengatur tugas dan wewenang
Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
1. Di
bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan
penuntutan;
b. Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan bersyarat;
d. Melaksanakan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2. Di
bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah
3. Dalam
bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan
kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan
peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian
dan pengembangan hukum statistik kriminal.
C. Kode
Etik Jaksa
Kode
etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila
nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang
memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga
kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Dalam
dunia kejaksaan di Indonesia terdapat norma kode etik profesi jaksa, yang disebut TATA KRAMA ADHYAKSA, yaitu:
1. Jaksa
adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
tercermin dari kepribadian yang utuh dalam pemahaman penghayatan dan pengamalan
Pancasila.
2. Jaksa
yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa mengamalkan dan melestarikan
Pancasila serta secara aktif dan kreatif menjadi pelaku pembangunan hukum dalam
mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang berkeadilan.
3. Jaksa
mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
4. Jaksa
mengakui adanya persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama pencari
keadilan serta menjunjung tinggi asas praduda tak bersalah, disamping asas-asas
hukum yang berlaku.
5. Jaksa
dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi kepentingan umum sesuai
dengan praturan perUndang-Undangan
dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, ksopanan dan kesusilaan serta
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
6. Jaksa
senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya dengan mengindahkan
disiplin ilmu hukum, memantapkan pengetahuan dan keahlian hukum serta
memperluas wawasan dengan mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.
7. Jaksa
brlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari keadilan.
8. Jaksa
dalam melaksanakan tugas dan kewajiban senantiasa memupuk serta mngembangkan
kemampuan profesional integritas pribadi dan disiplin yang tinggi.
9. Jaksa
menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap dan prilaku baik
di dalam maupun diluar kedinasan.
10. Jaksa
terbuka untuk mnerima kebenaran, bersikap mawas diri, berani bertanggungjawab
dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
11. Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia dan
jujur, arif dan bijaksana dalam tata fikir, tutur dan laku.
12. Jaksa
wajib menghormati dan mematuhi kode etik jaksa serta mengamalkan secara nyata
dalam lingkungan kedinasan maupun dalam pergaulan masyarakat.
Dalam
usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah terlalu
sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk dimengerti.
Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan
analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari
pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab
setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan
tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi
dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan
perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah
terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa
yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika
berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita
acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah
menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya
kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak
adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.
Di
dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata,
melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh
masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan
sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati
yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping
masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang
dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
D. Sanksi
Jaksa Yang Melanggar Kode Etik
Terdapat
beberapa tindakan/Sanksi bagi jaksa yang melakukan perbuatan yang melanggar
kode etik :
1. Administratif
a. Pemberhentian
sementara selama pemeriksaan
b. Pengalihtugasan
pada satuan kerja yang lain
c. Pembebasan
dari tugas-tugas jaksa paling singkat tiga bulan dan paling lama satu tahun,
selama menjalani tindakan administrasi tersebut tidak diterbitkan Surat
Keterangan Kepegawaian.
2. Pidana.
Apabila
telah nyata dan benar melakukan kejahatan dan atau perbuatan yang melanggar
peraturan perUndang-Undangan, maka jaksa yang bersangkutan diberhentikan secara
tidak hormat dari jabatannya.
E. Contoh
Kasus
Jaksa
Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Hamzah Tadza, menyatakan bahwa jaksa
yang menangani kasus Gayus Tambunan telah melakukan pelanggaran berat. Hamzah
menegaskan, karena ditemukan indikasi kesengajaan, tidak menutup kemungkinan
akan berujung pada pemberhentian tidak hormat. Pemberhentian tidak hormat akan
menunggu seluruh hasil pemeriksaan selesai dilakukan dengan juga melakukan
konfrontir dengan Gayus Tambunan, penyidik kepolisian, serta pengacara Gayus.
Pelanggaran
berat yang dilakukan oleh jaksa yang menangani perkara Gayus bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980. PP itu menyebutkan bahwa setiap
pegawai negeri harus “disiplin”, yakni disiplin dalam ucapan, tulisan, dan
perbuatan baik di dalam maupun di luar jam kerja. Hamzah menegaskan, jika
kemudian ditemukan ada indikasi pidana, yakni menerima uang alias gratifikasi
dalam menangani perkara, maka mengacu pada PP No. 20/2008, Jaksa Agung berhak
memberhentikan sementara statusnya sebagai jaksa berdasarkan rekomendasi Jaksa
Agung Muda Pengawasan. “Apabila nanti ada salah seorang jaksa terbukti pidana
Jaksa Agung berhak memberhentikan,”tandasnya.
Kejaksaan
Agung sendiri telah telah menetapkan lima orang aparaturnya sebagai terlapor
dugaan pelanggaran etika profesi dalam kasus pajak Gayus Halomoan Tambunan. Para
terlapor itu adalah jaksa P16 selaku peneliti Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka
Kurnia Sukmasari, dan Ika Savitrie Salim dan jaksa P16A Nazran Aziz dari Kejari
Tangerang, sebagai jaksa sidang.
Para
pejabat struktural yang turut diperiksa adalah Kasubbag Tata Usaha pada
Direktorat Prapenuntutan Rohayati, karena mengetahui alur administrasinya,
Kasubdit Kamtibum dan TPUL pada Direktorat Prapenuntutan Jampidum Mangiring,
yaitu tempat berkas masuk. Tak lupa, Direktur Prapenuntutan Poltak Manullang,
Direktur Penuntutan Pohan Lasphy, juga ikut diperiksa. Hamzah menegaskan, dalam
pemeriksaan yang dilakukan tersebut yang paling bertanggungjawab adalah Ketua
Jaksa Peneliti Berkas Cirus Sinaga yang sekarang menjadi Asisten Pidana Khusus
di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah serta Direktur Prapenuntutan Poltak Manulang
yang menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. “Dalam kasus ini keduanya yang
paling bertanggung jawab,”tegasnya. Hamzah bilang, jabatan struktural keduanya
kini sudah resmi dicopot.
Dari
wacana diatas dapat dilihat adanya kode etik profesi yang menyalahi aturan,
yaitu penyalahgunaan tanggung jawab yang dilakukan oleh rekan dan atasan jaksa
non aktif Cirus Sinaga dalam proses pengurusan berkas perkara Gayus Tambunan
saat bersidang di Pengadilan Negeri Tanggerang. Cirus dinyatakan bersalah
karena telah melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang
menghalang – halangi Penyidikan. Dalam putusan majelis hakim yang menangani
Cirus, Albertina Ho, menyatakan bahwa rekan dan atasan Cirus semestinya ikut
dimintai pertanggungjawaban.
Untuk
kode etik profesi jaksa di Indonesia telah diatur dalam peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana
dalam Pasal 4 , Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
1. menggunakan
jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
2. merekayasa
fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3. menggunakan
kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau
psikis;
4. meminta
dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta
dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
5. menangani
perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan
pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung
atau tidak langsung;
6. bertindak
diskriminatif dalam bentuk apapun;
7. membentuk
opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;
8. memberikan
keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang
ditangani.
Dalam
kasus Jaksa Sirus juga melanggar kode etik jaksa dalam pasal 1 dan 4, dimana
Jaksa Sirus menerima uang dari tersangka korupsi dalam kasus yang ditanganinya
Seharusnya
sebagai seorang jaksa Cirus tidak boleh melakukan tindakan pidana tersebut yang
sekaligus membuktikan pelanggaran kode etik yang dilakukannya, Cirus telah
melanggar prinsip etika profesi, dengan menjadi seorang jaksa yang tidak bisa
menjaga disiplin diri yang telah disyaratkan oleh hukum dan peraturan.
Seharusnya Cirus Sinaga memberikan suatu sikap atau contoh yang baik terhadap
masyarakat luas karena masyarakat telah mengenal bahwasannya seorang jaksa itu
adalah bagian dari penegak hukum yang seharusnya dapat membuktikan kasus
korupsi yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan bukan untuk menghalang –
halangi penyidikan yang akan dilakukan. Dengan adanya kasus seperti itu dapat
dikatakan bahwa hukum di Indionesia sudah dapat di beli dengan apa saja agar
tersangka yang akan di adili mendapat keringan dari hukuman yang seharusnya
pantas di terimanya bukan sebaliknya. Masyarakat mungkin akan kehilangan
kepercayaan dengan lembaga pengadilan yang ada di Indonesia, dikarenakan pihak
– pihak yang bersangkutan tidak dapat menjalakan etika profesi tersebut dengan
baik dan benar.
Selanjutnya
Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa : untuk dapat menjamin kinerja yang
baik, dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana oleh Kejaksaan mekanisme
kontrol dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Mekanisme
kontrol internal, yang dapat dirumuskan dalam perundang- undangan internal
lembaga, yang mendorong agar :
a. Sesama
aparat menjaga kinerja kolega mereka; dan
b. Agar
atasan meningkatkan kualitas produk aparat yang dipimpinnya, dengan memberikan
penghargaan pada personel yang berprestasi, dan menjatuhkan sanksi dalam
berbagai tingkatan, bagi mereka yang buruk performancenya
F. Lampiran
Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa Jaksa Agung
Republik Indonesia.
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Kode Perilaku Jaksa ini yang
dimaksud dengan :
1. Jaksa
adalah Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang;
2. Kode
Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku
Jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat
profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya;
3. Pejabat
yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah Pejabat yang karena
jabatannya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan menjatuhkan tindakan
administratif kepada Jaksa yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa;
4. Sidang
pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang memberikan tindakan administratif terhadap Jaksa yang
diduga melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa;
5. Tindakan
administratif adalah tindakan yang dijatuhkan terhadap Jaksa yang melakukan
pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
6. Yang
dimaksud dengan perkara meliputi perkara pidana, perkara perdata dan tata usaha
negara maupun kasus-kasus lainnya.
Pasal 2
Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi
jaksa yang bertugas di lingkungan Kejaksaan maupun diluar lingkungan Kejaksaan.
Bab II Kewajiban
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas profesi,
Jaksa wajib:
1. Mentaati
kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang
berlaku;
2. Menghormati
prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan;
3. Mendasarkan
pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran;
4. Bersikap
mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan /ancaman opini publik secara langsung
atau tidak langsung;
5. Bertindak
secara obyektif dan tidak memihak;
6. Memberitahukan
dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka terdakwa maupun
korban;
7. Membangun
dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan
sistem peradilan pidana terpadu;
8. Mengundurkan
diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
9. Menyimpan
dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan;
10. Menghormati
kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
11. Menghormati
dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera
dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak Asasi Manusia yang
diterima secara universal;
12. Menanggapi
kritik dengan arif dan bijaksana;
13. Bertanggung
jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan;
14. Bertanggung
jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi
masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.
Bab III Larangan
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas profesi,
Jaksa dilarang:
1. Menggunakan
jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
2. Merekayasa
fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3. Menggunakan
kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau
psikis;
4. Meminta
dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta
dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
5. Menangani
perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan
pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung
atau tidak langsung;
6. Bertindak
diskriminatif dalam bentuk apapun;
7. Membentuk
opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;
8. Memberikan
keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang
ditangani.
Bab IV
Penegakan Kode Perilaku Jaksa Dan
Tindakan Administratif
Pasal 5
1. Tindakan
administratif dikenakan pada perbuatan tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melakukan perbuatan yang dilarang;
2. Selain
sanksi yang sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, jaksa yang
melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa dapat dikenakan tindakan
administratif;
3. Jenis
tindakan administratif terhadap pelanggaran Kode Perilaku Jaksa terdiri dari:
a. Pembebasan
dari tugas-tugas jaksa paling singkat tiga bulan dan paling lama satu tahun dan
selama masa menjalani tindakan administrasi tersebut tidak diterbitkan Surat
Keterangan Kepegawaian;
b. Pengalihtugasan
pada satuan kerja yang lain.
Bab V
Pejabat Yang Berwenang Menjatuhkan
Tindakan Administratif
Pasal 6
Pejabat yang berwenang menjatuhkan
tindakan administratif adalah:
1. Jaksa
Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau jabatan lain yang
wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden.
2. Para
Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas dilingkungan Kejaksaan Agung R.I.
3. Jaksa
Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas diluar lingkungan Kejaksaan
Agung R.I.
4. Kepala
Kejaksaan Tinggi bagi jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi.
5. Kepala
Kejaksaan Negeri bagi jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri.
Bab VI
Tatacara Pemeriksaan, Penjatuhan,
Dan Penyampaian Putusan Tindakan Administratif
Pasal 7
1. Petunjuk
adanya penyimpangan Kode Perilaku Jaksa diperoleh dari hasil temuan pengawasan
melekat, pengawasan fungsional atau berdasarkan laporan pengaduan yang diterima
oleh pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif.
2. Pejabat
yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif memanggil jaksa yang
bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan.
3. Sejak
dilakukan pemeriksaan, pimpinan satuan kerja wajib segera melaporkan kepada
atasannya secara berjenjang selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
4. Pemeriksaan
dan penjatuhan tindakan administratif Kode Perilaku Jaksa dilaksanakan oleh :
a. Jaksa
Agung dan unsur Persaja bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau
jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;
b. Jaksa
Agung Muda, pejabat eselon II pada masing-masing Jaksa Agung Muda yang terkait
serta unsur Persaja bagi Jaksa yang bertugas di lingkungan Kejaksaan Agung
Republik Indonesia;
c. Jaksa
Agung Muda Pengawasan dan unsur Inspektur serta unsur Persaja bagi Jaksa yang
bertugas diluar lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
d. Kepala
Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, para Asisten dan Kepala Bagian
Tata Usaha serta unsur Persaja bagi Jaksa yang bertugas dilingkungan Kejaksaan
Tinggi;
e. Kepala
Kejaksaan Negeri, para Kepala Seksi dan Kepala Sub Bagian Pembinaan serta unsur
Persaja bagi Jaksa yang bertugas dilingkungan Kejaksaan Negeri.
f. Sidang
Pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa dilakukan secara tertutup dan putusan dibacakan
secara terbuka. Putusan disampaikan kepada yang bersangkutan segera setelah
dibacakan.
g. Sidang
Pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
ke
Pasal 8
Dalam melakukan Sidang pemeriksaan
Kode Perilaku Jaksa, pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif
dapat mendengar atau meminta keterangan dari pihak lain apabila dipandang
perlu.
Pasal 9
Pejabat yang berwenang menjatuhkan
tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dapat
mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat lain untuk memeriksa jaksa yang
diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Perilaku Jaksa.
Pasal 10
Keputusan Sidang Pemeriksaan Kode
Perilaku Jaksa dapat berupa pembebasan dari dugaan pelanggaran Kode Perilaku
Jaksa atau berupa penjatuhan tindakan administratif yang memuat pelanggaran
yang dilakukan oleh jaksa yang bersangkutan.
Pasal 11
1. Kepada
jaksa yang melakukan beberapa pelanggaran Kode Perilaku Jaksa secara
berturut-turut sebelum dijatuhkan tindakan administratif, hanya dapat dijatuhi
satu jenis tindakan administratif saja.
2. Kepada
jaksa yang pernah dijatuhi tindakan administratif dan kemudian melakukan
pelanggaran yang sifatnya sama, terhadapnya dijatuhi tindakan administratif
yang lebih berat dari tindakan administratif yang pernah dijatuhkan kepadanya.
Pasal 12
Keputusan Sidang Pemeriksaan Kode
Perilaku Jaksa bersifat final dan mengikat.
Bab VII Penutup
Pasal 13 Jaksa wajib menghormati
dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
Pasal 14 Setiap pejabat yang
dimaksud dalam pasal 6 wajib :
1. Berupaya
dengan sungguh-sungguh agar Jaksa bawahannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
2. Melaksanakan
wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Kode Perilaku Jaksa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang”. Sudah jelas bahwa jaksa
mempunyai wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara baik pidana maupun
perdata.
Pemerintah memberikan wewenang
kepada kejaksaan bukan semerta-merta. tetapi banyak hal yang mengikat kinerja
profesi hukum kejaksaan seperti menaati kode etik serta berani untuk
mengucapkan sumpah dan siap menerima konsekwensi jika perbuatan mereka
keluar/melenceng dari prosedur kinerja tugas profesinya. Sebagai penuntut,
seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa
pidana yang ditanganinya.
B. Saran
Demikianlah
makalah singkat ini, penulis berharap
agar semua pelaku profesi hukum baik kejaksaan, kepolisian, dll, agar kiranya
dapat menaati kode etik, sumpah, dsb. Agar kinerja profesi hukum terutama
kejaksaan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, sebab kejaksaan
mempunyai perang penting dalam menyelesaikan suatu perkara. Untuk menghindari
suap, korupsi, dll harapnya jaksa mampu bersifat tegas dan mementingkan
kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=26&idsu=25&id=865
Diakses pada tanggal 07 mei 2015
Supriadi, S.H., Etika &
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Kelik Pramudya, Pedoman Etika
Profesi Aparat Hukum, 2010, Jakarta: PT.Suka Buku
daftar isi gak ada bro
BalasHapus